Rabu, 18 April 2012

Penelitian Evaluatif

Pendekatan Penelitian Evaluatif
Penelitian evaluatif mempunyai enam pendekatan yaitu evaluasi berorientasi tujuan, evaluasi berorientasi pengguna, evaluasi berorientasi keahlian, evaluasi berorientasi keputusan, evaluasi berorientasi lawan, dan evaluasi berorientasi partisipan-naturalistik.
Evaluasi Berorientasi Tujuan
Evaluasi berorientasi pada tujuan diarahkan pada mengukur ketercapaian dalam pelaksanaan program atau kegiatan atau mengukur hasil pelaksanaan program/kegiatan. Program yang diukur bisa berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum, pembelajaran, program pendidikan anak berbakat, percepatan belajar, bimbingan konseling, manajemen berbasis sekolah, penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah, dan lain sebagainya. Langkah-langkah evaluasi yang berorientasi pada tujuan:
1)      Pemilihan tujuan yang dapat diukur.
2)      Pemilihan instrument.
3)      Pemilihan desain evaluasi.
4)      Pengumpulan dan analisis data.
5)      Interpretasi hasil
Evaluasi Berorientasi Pengguna
Evaluasi Berorientasi Pengguna menekankan pada hasil (produk), yaitu hasil yang dapat memenuhi harapan atau memuaskan pengguna. Pengguna di sini adalah orang tua, siswa, dunia industri, dan lain sebagainya.
Evaluasi Berorientasi Keahlian
Evaluasi Berorientasi Keahlian ini menggunakan standar keahlian, diarahkan mengevaluasi komponen-komponen dengan pendekatan standar atau kriteria para ahli.
Evaluasi Berorientasi Keputusan
Evaluasi berorientasi keputusan diarahkan pada proses jenis keputusan yang akan diambil, pemilihan, pengumpulan dan analisi data yang diperlukan untuk menetukan keputusan, dan penyampaian hasil laporan pada penentu keputusan. Stufflebeam (1971) mengembangkan model evaluasi yang komperhensif yang mencakup konteks (context), masukan (input), proses (process), dan hasil (product), yang disingkat dengan CIPP. Dari model tersebut dikembangkan evaluasi berorientasi keputusan.
1)      Pengukuran kebutuhan
2)      Perencanaan program dan evaluasi masukan
3)      Evaluasi implementasi
4)      Evaluasi proses
5)      Evaluasi hasil
Evaluasi Berorientasi Lawan
Evaluasi ini berbeda dengan evaluasi yang lain, untuk menguji keampuhan suatu program atau kegiatan harus dibandingkan dengan program lain atau standar lain yang berlawanan.
Evaluasi Berorientasi Partisipan-Naturalistik
Evaluasi ini muncul atas reaksi para ahli evaluasi mulai tahun 1967 yang tidak sensitive terhadap evaluasi pendidikan. Pendekatan evaluasi ini bersifat holisti, menggunakan banyak instrument dan data, untuk memperoleh pemahaman yang utuh dari sudut pandang yang berbeda-beda. Karakteristik evaluasi ini adalah:
1)      Menggunkan pendekatan holistik
2)      Memasukkan dan menjaga pluralisme nilai dan tidak membatasi nilai-nilai tertentu
3)      Melaporkan potret utuh
4)      Menggunakan pendekatan induktif
5)      Menggunkan banyak data yang bersumber dari pendekatan kualitatif maupun kuantitatif
6)      Menggunkan desain penelitian yang tumbuh atau berubah
7)      Mencatat kenyataan yang beraneka ragam
Dalam evaluasi naturalistrik berkembang pendekatan yang disebut sebagai evaluasi responsif. Evaluasi responsif didasarkan pada apa yang dilakukan orang secara alamiah, bila mereka mengevaluasi sesuatu mereka mengamati dan mereaksi. Stake menggambarkan urutan kegiatan dalam penelitian naturalistik yang bersifat responsive dalam sebuah jam.
Program Evaluasi Responsif
(diadaptasi dari Stake, R.R. 1975)

Pendekatan Campuran
Sebagian ahli berpandangan pragmatis meskipun terdapat perbedaan yang mendasar antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitaif dan evaluasi kualitatif dan evaluasi kuantitatif, dari pandangan ini muncul model peneilitian campuran (kualitatif-kuantitatif). Penelitian campuran mempunyai lima model, namun yang terkenal hanya tiga model.
1)      Model komplementer, menguraikan, mengembangkan, mengilustrasikan,  menjelaskan hasil yang diperoleh dari satu metode dengan metode yang lainnya. Bentuk campurannya adalah simultan atau keduanya digunakan bersama.
2)      Model pengembangan, menggunakan hasil dari satu metode untuk mengembangkan atau melengkapi informasi bagi metode yang lain, informasi untuk penetuan sampel, teknik pengumpulan data, dan lain sebagainya. Bentuk campuranya adalah parallel
3)      Model ekspansi, memperluas lingkup dan memperkaya hasil penelitian dengan menggukan metode yang berbeda untuk mengevaluasi komponen pendidikan yang berbeda, atau untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang beraneka ragam. Bentuk campuranya adalah sekuensial atau paralel.

Ungkapan Kehidupan

             Berbagai pilihan dari aliran sebuah agama, cara pandang manusia terhadap sesuatu sangat terlihat disini tidak ada kepastian didalamnya. Tuhan memberikan keadaan ini mungkin supaya kita menggunakan apa yang kita punyai untuk menentukan sebuah keputusan. Lalu apakah keputusan yang kita buat itu pasti benar? sejauh mana pemahaman kita tentang agama sangat berperan penting dalam menentukannya keputusan kita, teori-teori dari kitab yang kita punya dengan mengatasnamakan seorang tafsir yang kemudian kita secara perlahan mencerna satu demi satu, membedahnya.
              Lalu dimana posisi kita sekarang? sudah sadar hal ini, atau belum berfikir mengenai ini, jawaban ini mungkin akan kita dapatkan setelah waktu kita berhenti , disitu dimana sebuah dimensi lain menunggu kita,.
Semakin lama kehidupan semakin abstrak. Sebenarnya apa yang kita cari didunia yang membuat kita seolah merasa nyaman dengan atau tidak memikirkan apa yang terjadi setelah kehidupan ini. Peran dan keputusan dari agamalah yang bertanggung jawab menjawab pertanyaan ini. 

Sebuah Ungkapan Kehidupan

Selasa, 10 April 2012

Kurikulum dalam Kaitanya dengan Sosial-Budaya

PENDAHULUAN
            Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun kelingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula.
Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarkat.
Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbankan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial-budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.


PEMBAHASAN
            Percepatan angka perubahan sosial akhir-akhir ini mempersulit keputusan mengenai tujuan pendidikan. Sebagai contoh: kesempatan perubahan secara umum yang terjadi dalam definisi literasi anak-anak dan remaja. Penyelesaian dari tantangan tersebut, kapan saja itu terjadi dan bisa mempengaruhi program sekolah. Gambaran dari isu literasi adalah survei sastra tentang hubungan dan efek perubahan dalam institusi sosial. Yang dimaksud Institusi tersebut adalah” penataan sosial” yang menjurus dalam tingkah laku pada area penting kehidupan sosial. Perubahan di dalam institusi tersebut menghasilkan pembelajar dengan latar belakang yang luas dan berbeda-beda. Pekerja kurikulum dituntut harus bisa menentukan pilihan isi yang didalamnya ada nilai-nilai terhadap realita sosial budaya.

  1. LITERASI
            Dalam khazanah pembelajaran bahasa, literasi diartikan melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwancanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale & Sulzby, 1986; Cooper, 1993:6; Alwasilah, 2001).
            Pengertian literasi berdasarkan konteks penggunaanya dinyatakan Baynham (1995:9) bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis.
            James Gee (1990) mengartikan literasi dari sudut pandang ideologis kewacanaan yang menyatakan bahwa literasi adalah “mastery of, or fluent control over, a secondary discourse.” Dalam memberikan pengertian demikian Gee menggunakan dasar pemikiran bahwa literasi merupakan suatu keterampilan yang dimiliki seseorang dari kegiatan berpikir, berbicara, membaca, dan menulis.
            Literasi diartikan sebagai mengetahui setelah membaca dan merefleksikan apa yang sudah dibaca. ( National Assessment Governing Board(NAGB).1992 ).
Ada empat macam dari literasi :
  1. Language Literacy
            Kemampuan berbahasa sudah meningkat sejak permulaan sekolah formal di US Sebagai contoh pada tahun 1700, orang-orang dianggap terpelajar jika mereka menghasilkan penandatanganan mereka. Pada tahun 1800 dalam rangka penandatanganan nama mereka, orang-orang terpelajar tersebut diharapkan paham dari pekerjaan yang mereka pelajari. Menurut standart literasi, yang diatur oleh US ARMY tahun 1915 orang-orang terpelajar diharuskan bisa mengerti dan menjawab pertanyaan pemahaman secara harfiah (Butler 1992)
            Salah satu pengukuran kemampuan menulis akhir-akhir ini ditujukan oleh syarat tugas di penilaian dalam pendidikan. Siswa dikelas ke4,8 dan 12 diminta untuk menunjukkan beberapa tugas menulis mereka termasuk juga paragraf informatif, persuasi dan narasi. Lebih lanjut standart ini menunjukkan bahwa murid harus bisa membaca pengalaman kesusastraan dengan diinformasikan, menampilkan tugas dalam rangka untuk menginterpretasikan, merespon  memberikan reflek pribadi, dan mendemonstrasikan kritikan dari sudut pandang pribadi (NAGB ,1992).
            Pengetahuan bahasa itu susah dipelajari karena definisinya sangat luas. Wiley 1997 menyatakan bahwa beberapa individu yang bingung dengan kesusastraan terutama kesusastraan inggris pada dasarnya bukan dianggab orang berpendidikan. Jika seseorang tidak berbicara dengan bahasa inggris haruskah orang tersebut dianggab sebagai orang yang tidak berpendidikan atau orang berpendidikan yang tidak berbahasa inggris jika setiap orang memiliki kemampuan bahasa inggris yang terbatas apakah mereka termasuk orang-orang yang berpendidikan ? apakah kelebihan orang-orang sastra? Pertanyaan tersebut sangat erat kaitanya dengan pekerja kurikulum karena latar belakang budaya seperti aturan krusial disekolah, penyesuaian diri para imigrant, pengungsi dan anak-anak minoritas yang lain.

  1. Cultural Literacy
            Orang-orang berkumpul dalam kelompok sosial menurut latar belakang etniknya ,bahasanya , agamanya atau kategori yang lain. Hal ini dalam rangka berbagi kepercayaan atau budaya, kelompok mereka. Harapan umum mengenai bagaimana seharusnya seseorang bertingkah laku dikenal sebagai norma pengembangan dari interaksi sosial diantara anggota group. Apa yang semestinya dilakukan untuk anggota group menjadi kriteria atau nilai yang dipegang oleh kelompok. Sebuah kelompok juga menciptakan peraturan sosial untuk anggota dalam bermacam-macam posisi diantara kelompok tersebut ( Eitzen & Baet Zinn, 1998). Secara sederhana, program sekolah di US fokus pada penyiaran warisan dunia barat dan sedikit memperhatikan budaya non eropa. Pemerhati multikulturar percaya bagaimanapun sekolah seharusnya memberikan informasi akurat mengenai budaya non tradisional. Hal tersebut diharapkan untuk mengurangi prasangka dan mendorong akademik siswa minoritas. Seharusnya tujuan tersebut direalisasikan sehingga siswa bisa menuntut kemampuan berbudaya yang lebih besar.

  1. Science Literacy
            Orang-orang dari budaya berbeda tinggal dan bekerja berdampingan dalam penampungan besar oleh sain matematika dan teknologi. Ilmu pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan, pemahaman konsep ilmiah dan proses persyaratan untuk membuatan keputusan dalam hubungannya dengan budaya dan kemanusiaan, serta produktifitas ekonomi. Permasalahan kelangsungan hidup dan kehidupan berlangsung global adalah pertumbuhan populasi yang tidak terperiksa, populasi lingkungan dan penyakit.
Pengharapan untuk pekerja ilmiah termasuk kemampuan seperti berikut ini :
-          Teknik variasi pengetahuan untuk pendekatan dan penyelesaian masalah
-          Pemahaman dasar-dasar ilmiah masalah khas matematika
-          Kemampuan untuk bekerja dengan yang lain ketika dalam masalah
-          Kemampuan untuk mengatasi masalah secara terbuka, karena kebanyakan masalah dunia nyata tidak cocok dengan formulanya.
  1. Information Literacy
Kemampuan berinformasi bisa juga disebut kemampuan mengevaluasi, analisa dan mengaplikasikan kritik pikiran untuk penggunaan informasi ( Holloway, 1997; Lenox & Walker, 1994). Media menyediakan informasi penting fiksional dan nyata bagi anak dan pemuda pada topik-topik termasuk etnik grup, kebudayaan, gender, agama, hubungan antar grup, perubahan demographic, kepentingan pemerintahan dan lungkungan. Informasi yang disampaikan menyediakan sebuah interpretasi seperti yang dibicarakan. Media membantu anak dan remaja melalui pengulangan tema, interpretasi dan pilihan kata. Dengan kata lain media membantu, mendorong, dan memodifikasi nilai-nilai siswa dan tingkah laku melalui proses demokrasi, produk aksi sosial dan aktivitas lainya. Melalui pengulangan penggunaan tema tertentu serta ide-ide, media membantu siswa dan menyediakan teladan untuk tindakan. Karena kepopuleran media, anak dan remaja butuh pendamping dalam memahami informasi. ( Cortes, 1992).


  1. LEMBAGA  SOSIAL
                  Lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan oleh masyarakat yang dianggap penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga selalu merupakan sistem gagasan dan perilaku yang terorganisasi yang ikut serta dalam perilaku itu. (Horton dan Hunt, 1999:243)
1.      Lembaga-Lembaga Sosial Dasar
                   Lembaga sosial memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat yaitu sebagai sarana untuk mencapai tujuan dalam pemenuhan kebutuhan. Ada lima lembaga dasar yang penting dalam masyarakat yang kompleks, yaitu lembaga keluarga, keagamaan, pemerintahan (politik), perekonomian, dan pendidikan.
a.      Lembaga Keluarga
                  Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan atau tanpa anak (keluarga batih). Lembaga keluarga pasti memiliki nilai dan norma yang dianut didalamnya. Fungsi sosialisasi, keluarga melakukan sosialisasi atau mengenalkan anggota keluarga mengenai nilai dan norma yang terdapat di dalam masyarakat sebelum terjun langsung ke dalam masyarakat tersebut. Fungsi penentuan status, melalui keluarga, seseorang akan mendapat pengakuan status dari masyarakat dan peran yang akan ia sandang ketika terjun langsung ke dalam lingkungan masyarakat.
b.      Lembaga Pendidikan
                    Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan pendidikan, kita sebagai makhluk yang berakal akan mengetahui hal-hal yang belum pernah diketahui. Awalnya fungsi lembaga pendidikan dijalankan sendiri oleh keluarga mengenai pengajaran nilai, norma dan berbagai macam pengetahuan di dunia luar. Dalam masyarakat yang masih sederhana, pengajaran hanya sebatas memberikan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan pokok, seperti pengajaran mengenai cara bercocok tanam atau bagaimana meramu makanan. Seiring dengan perkembangan zaman, keluarga mulai menyerahkan fungsi lembaga pendidikan pada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Keluarga sendiri masih melaksanakan fungsi tersebut walaupun hanya mengenai hal-hal yang mendasar, seperti cara makan, bertutur kata yang baik pada orang lain, karena keluarga sendiri merupakan lembaga pendidikan informal.
c.       Lembaga Agama
                  Menurut Emile Durkheim, agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan bahwa kepercayaan serta praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral (Kamanto Sunarto, 2004: 67). Fungsi lembaga agama meliputi mempersatukan komunitas dengan semangat persaudaraan, peningkatan kohesi dan solidaritas sosial, menerapkan ajaran yang diperkenankan agama, dan memberikan penafsiaran-penafsiran untuk membantu menjelaskan keadaan linkungan fisik dan sosial seseorang. Lembaga agama memiliki hubungan dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Seperti hubungan lembaga agama dengan pendidikan, agama juga memberikan pengetahuan dalam hal ini pengajaran atau pendidikan kepada para pengikutnya. Misalnya bagaimana cara melakukan ritual peribadatan yang baik.
d.      Lembaga Ekonomi
                    Lembaga ekonomi ialah pranata yang mempunyai kegiatan bidang ekonomi demi terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Perdagangan mulai lahir ketika orang mulai menginginkan hasil produksi orang lain. Lambat laun proses pertukaran memilih standar tertentu, diatur, dan diperkirakan sehingga dianggap perlu dikembangkan. Lembaga ekonomi lahir pada saat orang mulai melakukan barter secara rutin, membagi-bagi tugas, dan mengakui adanya tuntutan seseorang terhadap orang lain. Atas dasar tersebut pula, suatu lembaga ekonomi tidak dapat terlepas dari tiga pokok dalam bidang ekonomi yaitu kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Fungsi lembaga ekonomi secara umum adalah untuk mengatur hubungan antar pelaku ekonomi dan meningkatkan produktivitas ekonomi semaksimal mungkin sehingga orang dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini fungsi ekonomi akan diperinci menjadi dua bahasan, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten.
 Salah satu fungsi laten dari seluruh lembaga ekonomi-pemerintahan modern ialah merusak kebudayaan tradisional. Kebiasaan kepemilikan hak tanah, kepercayaan agama, organisasi keluarga, tempat pemukiman, dan banyak lagi pola kehidupan sosial yang sudah mapan mengalami perubahan sebagai akibat perkembangan industri. Mobilitas sosial dirangsang dan salah satu konsekuensinya ialah meningkatnya anomi (kekaburan norma) dan alienasi (rasa keterasingan).
e.       Lembaga politik
                  Menurut Kornblum, lembaga politik adalah seperangkat aturan-aturan dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang. Contoh dari lembaga utama di bidang politik yang diajukannya ialah eksekutif, legilatif, yudikatif, mliter, keamanan nasional, dan partai politik.
                  Karakteristik lembaga politik meliputi: adanya komunitas manusia yang secara sosial hidup bersama atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, adanya asosiasi atau pemerintah yang aktif, asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fumgsi untuk kepentingan umum, dan asosiasi tersebut diberi kewenangan jangkauannya hanya dalam teritorial tertentu.
                  Fungsi-fungsi lembaga poltik yaitu, fungsi pemaksaan norma (enforcement norms), fungsi merencanakan dan mengerahkan (planning and direction), fungsi menengahi pertentangan kepentigan (arbitration of conflicting interest), dan fungsi melindungi masyarakat dari serangan musuh dari luar.

C.    PENGAPLIKASIAN PADA PROSES KURIKULUM
            Tidak hanya perubahan yang lain tapi perubahan sosial-budaya juga membutuhkan tempat, tapi perubahan berlanjut terjadi lebih cepat dari yang pernah ada sebelumnya. Pada bagian ini menggambarkan implikasi pada pembelajaran sosial-budaya untuk proses pengembangan, penggunaan dan evaluasi proses kurikulum.
1.      Pengembangan
Pertumbuhan menuntut orang-orang pintar dirumah, ditempat kerja dan didalam komunitas yang menyarankan bahwa usaha harus diakui sebagai perubahan sosial-budaya
a.      Pemilihan Tujuan dan Isi
Pengembangan kurikulum , kususnya mereka-mereka yang fokus terhadap perubahan sosial- budaya, kadang-kadang memilih tujuan mereka dengan menyiapkan orang-orang untuk hidup dalam perubahan dunia secara cepat’. Reformasi sosial sebagai tujuan pendidikan berarti bahwa sekolah benar-benar berubah bentuk dalam bidang sosial. Masyarakat individu sadar akan potensi mereka sebagai anggota grup dalam konsep kurikulum yang berorientasi pada relevansi-rekonstruksi.
b.      Aturan Penelitian Untuk Pengguna Kurikulum
Pembelajaran sosial dan budaya menyatakan bahwa peningkatan kesulitan untuk pengguna ruangan kelas dan guru untuk menolak pekerjaan lain di luar kelas.
Pembelajaran tersebut juga menyatakan bahwa guru seharusnya mempunyai metode interaktif pada penyampaian kurikulum. Dengan generasi siswa untuk space-age, teknologi, kecepatan pembelajaran seharusnya memberi tantangan pembelajar untuk mengunakan video game dan teknologi koputer lain
2.      Kegunaan
Bahkan ketika isi kurikulum berlanjut sebesar subyek masalah, pembelajaran sosial dan efek budaya diruang kelas digunakan sebagai pertimbangan. Komunikasi yang efektif antara pendidik, warga masyarakat, dan siswa adalah syarat untuk pemahaman dan pengaturan perubahan sosial tersebut. Orang –orang, waktu dan sumber uang disyaratkan dalam rangka persetujuan perubahan sosial.
3.      Evaluasi
Kurikulum merubah pengakuan dan pembelajaran sosial-budaya yang berakibat pada evaluasi mungkin melibatkan kemampuan penekanan model masalah/ pemecahan masalah. Jika tujuan dominannya adalah’ Pengolahan pencapaian kognitif’ Instrumen evaluasi meliputi test, scala/ portofolio yang mungkin digunakan.










                                                      KESIMPULAN

Sosial dan budaya mengubah isu-isu  yang muncul tentang bentuk dan tanggung jawab literasi untuk perkembangan pembelajaran. Rumah dan tempat kerja memerlukan tambahan literasi  seperti apa yang diperlukan beberapa tahun yang lalu. Sebuah pertanyaan yang utama adalah” Siapa yang melakukan perkembangan ini?”.
Lembaga-lembaga sosial yang biasanya melayani di setiap persoalan kini telah berubah dengan cara hanya mencegah persoalan seperti yang mereka lakukan di generasi yang lalu. Perubahan teknologi menghasilkan perubahan structural di perekonomian yang sangat mengubah perkotaan dan area geografi, sabagai hasil perekonomian dan perubahan sosial lainnya, keluarga, agama, dan pendidikan mempunyai perjalanan di setiap perubahan.
Sensus data mengindikasikan bahwa populasi umur sekolah mengalami kemerosotan dan penyempitan. Peningkatan jumlah dari minoritas anak-anak, beberapa mereka tidak dapat berbicara inggris kususnya dikelas. Kebanyakan anak-anak umur sekolah seperti menjadi terkucil dirumah dengan orang tua mereka. Di beberapa kasus, orang tua tidak mampu membantu anak-anak mereka dikarenakan dari latar belakang pendidikan yang lemah.
Belajar dari sosial dan budaya mempengaruhi semua proses kurikulum tetapi lebih terutama pada criteria pembahasan tertentu. Pengembang memilih kenyataan sosial karena pendidikan membawa kebanyakan tanggung jawab untuk menghasilkan orang-orang yang berlitersi.